Saturday, December 27, 2008

Berubahlah Sekarang Juga


Perubahan diri secara positif bisa mendatangkan kebahagiaan, baik bagi diri sendiri, keluarga, bahkan bagi masyarakat sekitar, atau bahkan dunia, karena kebahagiaan itu menular. Anda ingin bahagia? Atau mungkin pertanyaan ini perlu diralat; Apakah anda ingin menjadi lebih bahagia? Kalau jawaban anda ‘ya’, maka berubahlah! Sekarang ini juga! Karena kita berpacu dengan waktu. Memang perubahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, kisah berikut ini adalah salah satunya!

Rama dan Shinta adalah pasangan biasa. Mereka tinggal di rumah biasa, di jalan yang biasa. Seperti juga pasangan yang lain yang biasa-biasa saja, mereka juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan melakukan hal-hal terbaik bagi anak-anak mereka.

Namun merekapun merupakan pasangan yang biasa juga, dalam berbagai hal, kadang-kadang mereka juga bertengkar. Sebagian pembicaraan mereka menyangkut apa yang salah dalam perkawinan mereka dan siapa yang seharusnya disalahkan.

Sampai pada suatu ketika, berlangsunglah peristiwa yang paling luarbiasa.

“Kamu tahu Bu, selama ini aku telah menemukan sebuah lemari berlaci ajaib. Setiap kali aku membukanya, laci-laci itu selalu penuh dengan kaus kaki dan pakaian dalam,” kata Rama. “Aku ingin mengucapkan terimakasih atas kesediaanmu mengisi dan merapikannya selama ini.”

Shinta memandang suaminya lewat bagian atas kacamatanya. “Apa yang kamu inginkan, Pak?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menghargai lemari berlaci itu.”

Ini bukan yang pertama kalinya Rama melakukan sesuatu yang aneh, sehingga Shinta mengesampingkan peristiwa itu dari pikirannya sampai beberapa hari kemudian.

“Bu, terimakasih untuk kesediaanmu mencatat begitu banyak angka-angka dalam cek dalam buku kas induk bulan ini. Kamu mencatatnya dengan benar sebanyak lima belas dari enam belas kali, ini sebuah rekor.”

Tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, Shinta mengalihkan pandangan dari tisikannya. “Pak, kamu dari dulu selalu saja mengeluhkan kesalahanku ketika mencatat angka-angka cek. Mengapa sekarang tidak lagi?”

“Tidak ada alasan apapun. Aku hanya ingin kau tahu kalau aku menghargai upaya yang sudah kau lakukan.”

Shinta menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali meneruskan tisikannya. “Kerasukan apa dia?”, dia menggumam pada dirinya sendiri.

Walau demikian, di hari berikutnya, ketika dia menulis sebuah cek di toko bahan makanan, Shinta melirik sekilas pada buku ceknya untuk memastikan bahwa dia mencatat jumlah angka yang benar.” Apa gerangan yang menyebabkan aku tiba-tiba peduli pada angka-angka ini?” tanya Shinta dalam hati.

Dia mencoba melupakan kejadian itu, namun kelakuan Rama yang ganjil malah menghebat.
“Bu, ini adalah makan malam yang luar biasa,” katanya pada suatu malam. “Aku menghargai seluruh upayamu. Mengapa? Aku berani bertaruh bahwa sejak lima belas tahun terakhir ini kamu telah menyiapkan empat belas ribu hidangan untukku dan juga untuk anak-anak.”

Kemudian,”Wah, Bu, rumah kita kelihatan rapi. Kamu benar-benar telah bekerja keras untuk membuatnya kelihatan bagus.” dan bahkan kemudian “Terimakasih Bu, untuk menjadi dirimu sebagaimana adanya. Aku sungguh menikmati kebersamaan kita.”

Shinta semakin cemas. “Dimana kritik tajam dan sindiran itu?” dia keheranan.

Dia khawatir bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada suaminya, ini ditegaskan oleh Santi putrinya yang berumur enam belas tahun yang mengeluh, ”Ayah sudah tidak beres lagi, Bu. Dia baru saja mengatakan bahwa aku kelihatan manis. Dengan semua riasan dan pakaian yang kedodoran ini, dia tetap mengatakan itu. Itu bukan ayah, Bu. Apa yang terjadi dengan dirinya?”

Apa yang salah, Rama tidak menjelaskan. Hari demi hari berganti, dia terus memusatkan perhatian pada hal yang positif.

Setelah berminggu-minggu, Shinta menjadi semakin terbiasa dengan tingkah laku suaminya yang tidak seperti biasanya itu dan terkadang bahkan menggumam dengan setengah-hati kepada Rama “Terima kasih.” Dia masih mempertahankan harga dirinya dengan menganggap seolah-olah semua itu sebagai hal yang biasa saja, sampai suatu hari sesuatu yang tidak biasa kembali terjadi, dia benar-benar merasa kacau.

“Aku ingin kamu istirahat, Bu,” kata Rama. “Aku yang akan mencuci perabotan itu. Jadi lepaskan tanganmu dari panci penggorengan itu dan tinggalkan dapur ini.”
(Hening, hening lama sekali). Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak!”

Langkah Shinta sekarang bertambah ringan, rasa percaya dirinya meningkat dan bahkan terkadang dia bersenandung. Kelihatannya dia tidak lagi dibebani perasaan murung seperti yang sudah-sudah. “Aku lebih menyukai perilaku Rama yang baru,” pikirnya.

Itu bisa menjadi akhir kisah kasih ini jika di suatu hari tidak terjadi suatu yang paling luarbiasa. Kali ini Shinta-lah yang berbicara.

“Pak,” katanya, “Aku ingin mengucapkan terimakasih untuk kesediaanmu bekerja dan menjamin kehidupan kami selama ini. Tak pernah sebelumnya terpikirkan olehku untuk memberitahu kamu betapa aku sangat menghargai hal itu.”

Rama tidak pernah mengungkapkan alasan mengapa dia mengubah sikapnya menjadi demikian dramatis, meski Shinta mendesaknya, sehingga itu nampaknya akan tetap menjadi salah satu misteri kehidupan mereka. Namun itu adalah misteri yang membuat Shinta bersyukur.

Tulisan ini disadur dari buku “Chicken Soup of the Soul”. Karya Jack Canfield dan Mark Victor Hensen.

----------


No comments: