Sunday, January 4, 2009

Barangkali Sudah Terlambat....

Rumah sakit tempatku bekerja terasa sunyi, tidak seperti biasanya, sunyi seperti suasana sebelum datangnya badai. Aku berdiri di ruang perawat di lantai tujuh dan melirik ke jam dinding.

Sudah jam 9 malam. Aku melingkarkan stetoskop di leherku dan bergegas ke ruang 712, ruang paling ujung di lantai tujuh. Ruang 712 berisi pasien baru, pak Willy, seorang pria yang hidup sebatang kara. Pria yang tidak mau bicara tentang keluarganya.

Aku memasuki ruangan itu, pak Willy menatap dengan gembira, namun kemudian matanya kembali sayu setelah tahu yang datang hanyalah aku, perawatnya. Aku menekan stetoskop di sekeliling dadanya sambil mendengarkan. Denyutnya kuat, lambat, dan teratur. Itulah yang ingin aku dengar. Nampaknya ada sedikit indikasi bahwa dia mengalami serangan jantung ringan beberapa jam yang lalu.

Dia menatapku lalu berkata, “Suster, maukah suster...” Dia ragu, air mata mulai menggenangi matanya. Dia berhenti sebelum mulai mengajukan permintaan, namun kemudian berubah pikiran. Aku menyentuh tangannya, menunggu. Dia mengusap air matanya. “Maukah suster menelpon anak saya? Katakan padanya aku mengalami serangan jantung. Serangan ringan. Suster tahu, aku hidup sendiri dan dia adalah keluargaku satu-satunya.”

Mendadak napasnya memburu. Aku memperbesar aliran oksigen sampai delapan liter per menit. “Tentu saja saya akan menelponnya,” kataku, sambil mengamati wajahnya. Dia mencengkeram seprei dan berupaya bangkit, wajahnya nampak tegang. “Maukah suster menelponnya sekarang, secepatnya?”

Napasnya semakin cepat, bahkan terlalu cepat. “Ya, saya akan menelponnya sekarang juga,” kataku sambil menepuk pundaknya. Aku meredupkan lampu. Dia memejamkan mata, mata yang sejuk di usianya yang limapuluh tahun. Ruang 712 jadi gelap kecuali sebuah lampu kecil di bawah wastafel. Oksigen terdengar mendeguk dalam tabung hijau di atas tempat tidurnya. Aku enggan meninggalkan ruangan itu, aku berjalan dalam temaram keheningan menuju jendela. Kaca jendela begitu dingin. Di bawah, kabut tipis bergulung di lahan parkir rumah sakit.

“Suster,” dia memanggil, “Bisa pinjam pensil dan selembar kertas?” Aku mencari kertas berwarna kuning dan sebuah pena dari sakuku dan meletakkannya di meja di samping tempat tidur. Aku berjalan kembali ke ruang perawat, siap menelpon. Anak perempuan pak Willy ada dalam daftar orang yang pertamakali harus dihubungi. Aku memperoleh nomornya dari informasi, kemudian menelponnya.

Suaranya yang lembut menjawab. “Yuni, saya perawat di rumah sakit pusat. Saya menelpon untuk mengabarkan bahwa ayah Anda di rawat di sini sejak sore tadi, dia terkena serangan jantung ringan, dan...., “Tidak!” dia berteriak, mengejutkanku. “Tidak parah kan?”

“Saat ini kondisinya stabil,” kataku, mencoba sebisanya agar terdengar tenang meyakinkan. Aku mengunci bibirku. “Anda tidak boleh membiarkan dia meninggal!” katanya. Suaranya terdengar begitu khawatir sehingga membuat tangan saya gemetar. “Dia telah menerima perawatan yang terbaik,” kataku.
“Tapi suster tidak mengerti.” dia mengaku, “ayah saya dan saya tidak pernah bicara, pada ulang tahunku yang ke 21, kami bertengkar karena dia tidak menyetujui pacar saya. Saya kabur dari rumah. Sampai sekarang saya belum pulang. Sejak beberapa bulan terakhir ini saya ingin sekali datang padanya untuk minta maaf. Hal terakhir yang saya katakan padanya adalah, “Aku benci kamu!”
Suaranya mulai gemetar dan aku mendengar isakan tangis yang memilukan. Aku duduk, mendengarkan, air mata membasahi pipiku. Seorang ayah dan anaknya, saling merasa kehilangan. Kemudian aku mulai memikirkan ayahku sendiri, ratusan kilometer terpisah dariku. Sudah begitu lama sejak terakhir kalinya aku mengatakan, “Aku mencintaimu.”

Ketika Yuni sudah mulai bisa mengontrol tangisnya, aku membisikkan doa, “Ya Tuhan, biarlah anak perempuan ini memperoleh maaf.” Kemudian terdengar ditelpon, “Saya akan segera datang, sekarang juga saya berangkat, saya akan sampai dalam 30 menit,” katanya. Kemudian klik, dia menutup telpon. Aku mencoba menyibukkan diri dengan setumpuk kartu pasien di meja, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi. Kamar 712, aku tahu, aku harus kembali ke sana.

Aku setengah berlari berjalan di lorong. Aku buka pintunya. Pak Willy berbaring tak bergerak. Aku meraih pergelangan tangannya, tak ada denyutan. “Kode 99, kamar 712, kode 99, gawat.” Peringatan itu terdengar di seluruh rumah sakit dalam beberapa detik setelah aku memanggil melalui intercom di samping tempat tidur. Pak Willy mengalami gagal jantung. Secepat kilat aku meratakan posisi tempat tidur kemudian membungkuk di depan mulutnya, dua kali meniupkan udara ke paru-parunya, ku letakkan tanganku di dadanya lalu menekannya. Satu, dua, tiga, aku mencoba menghitung.

Pada hitungan ke 15 aku kembali ke mulutnya kemudian meniupkan napas sedalam mungkin. Di mana bantuan? Sekali lagi aku menekan dadanya, memberi pernapasan, menekan lagi... Dia tidak boleh mati! “O, Tuhan,” aku berdoa. “Anaknya segera datang! Jangan biarkan berakhir seperti ini Tuhan.”

Pintu mendadak terbuka. Para dokter dan perawat bergegas masuk sambil mendorong peralatan emergensi. Seorang dokter mengambil alih kompresi manual di dada. Sebuah tabung dimasukkan melalui mulutnya sebagai saluran udara. Para perawat menyuntikkan obat ke pembuluh darahnya. Aku menyambung alat monitor jantung. Tidak ada apa-apa. Tak ada satu denyutanpun.

Jantungku berdegup kencang. “Tuhan, jangan biarkan ini berakhir begini. Tidak dalam kepahitan dan kebencian. Anaknya sebentar lagi datang. Biarlah dia memperoleh kedamaian.”

“Mundur,” perintah seorang dokter. Aku mengangsurkan alat kejut jantung padanya. Dia meletakkannya di dada pak Willy. Berulang kali kami mencoba, tanpa hasil. Pak Willy telah meninggal, seorang perawat mematikan oksigennya. Satu demi satu mereka meninggalkan ruangan itu, muram dan diam.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Aku berdiri di sisi tempat tidurnya, terpaku. Angin dingin menggetarkan jendela. Bagaimana bisa aku menemui anaknya?

Ketika aku meninggalakan kamar itu, aku melihatnya menyandar di tembok di samping air mancur. Seorang dokter, yang beberapa saat lalu berada di kamar 712 berdiri di sampingnya, berbicara padanya, memegang sikunya. Kemudian dia pergi, meninggalkannya merosot berpegang ke tembok. Kepedihan yang mendalam nampak di wajahnya. Mata yang penuh duka.

Dokter telah mengatakan bahwa ayahnya telah pergi. Aku meraih tangannya dan menuntunnya ke ruang duduk perawat. Kami duduk di kursi hijau kecil, tetap membisu. Dia menatap lurus ke kalender farmasi, tapi dengan tatapan kosong.

Yuni, saya ikut berduka,” kataku, walau aku tahu itu tidak cukup. “Aku tak pernah membencinya, aku mencintainya,” katanya. Tuhan, tolonglah dia, aku berdoa. Tiba-tiba dia berputar ke arahku. “Aku ingin menjenguknya.”
Pikiran pertama yang muncul adalah, mengapa harus menambah beban kesedihanmu? Melihatnya hanya akan menambah kepedihannya. Namun aku tetap berdiri lalu merangkulnya. Kami berjalan perlahan di lorong, menuju kamar 712. Di luar pintu aku mencengkeram lengannya, berharap dia mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia mendorong pintunya.
Kami berjalan menuju tempat tidur, bersamaan saling merapat. Yuni membungkuk dan membenamkan wajahnya di selimut. Aku berusaha untuk tidak melihatnya dalam perpisahan yang demikian menyedihkan. Aku memalingkan wajahku ke meja kecil di samping tempat tidur. Aku melihat kertas kuning tergeletak di sana, aku memungutnya, tertulis di situ:

Yuniku sayang,
Aku memaafkanmu, aku harap kamu juga mau memaafkan aku. Aku tahu kalau kamu sangat mencintaiku.
Aku juga mencintaimu.
Ayah.

Kertas itu nampak gemetar di tanganku ketika aku mengulurkannya ke Yuni. Dia membacanya sekali, kemudian mengulangnya. Wajahnya yang penuh kepedihan itu perlahan berubah bersinar. Damai mulai memancar di wajahnya. Dia memeluk kertas itu di dadanya.

“Terimakasih, Tuhan,” aku berbisik, memandang keluar jendela. Beberapa bintang bak kristar berpendar dalam kegelapan malam. Keping salju jatuh ke jendela dan mencair, pergi untuk selamanya. Nampaknya kehidupan demikian rapuh seperti keping salju di jendela itu. Tapi terimakasih Tuhan, karena hubungan keluarga kadang demikian rapuh seperti kepingan salju itu, dapat disatukan kembali - namun jangan membuang waktu.
Aku beringsut dari kamar itu dan bergegas menuju pesawat telpon. Aku akan menelpon ayahku, akan kukatakan, “Aku mencintaimu!.”

NB. Kukira ini bisa menjadi gagasan yang baik bagi kita masing-masing, untuk menyisihkan beberapa menit dari hari-hari kita yang penuh kesibukan dan mengatakan kepada orang yang demikian istimewa bagi kita, bahwa kita mencintai mereka... sebelum terlambat! Bukankah demikian? Jadi, tunggu apa lagi?

Pengarang tidak diketahui, dikirimkan oleh Gary Lee, Maryland.

----------

No comments: