Wednesday, September 3, 2008

Kenapa Dokter Percaya?

KENAPA SEKARANG PARA DOKTER PERCAYA PADA PENYEMBUHAN BATINIAH? KARENA MEREKA MENEMUKAN BUKTI-BUKTI MEDISNYA.

Oleh : Lydia Strohl, dalam tulisannya di Reader’s Digest, September 2001 (MP 17)

Sekelompok mahasiswa kedokteran berjubah putih mengelilingi tempat tidur seorang pasien di rumah sakit Georgetown University. Pasiennya, Tom Long, tertikam di daerah jantung, perut dan limpanya dalam sebuah penyerangan. Setelah tujuh kali menjalani operasi dia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, luka lebar di perutnya ditutup dengan kulit cangkokan, sampai setahun kemudian, lukanya belum juga sembuh, karenanya pada bulan Desember 1999 dia pergi lagi ke Georgetown untuk menjalani operasi lanjutan, yang akhirnya dapat menutup luka di perutnya tadi. Long berkisah, seperti yang sudah sering dilakukannya, bagaimana rasanya menjadi salah satu dari sedikit orang yang tetap bertahan hidup setelah jantungnya ditikam. Reghan Foley, mahasiswa tingkat pertama yang melakukan wawancara itu, dengan gugup bertanya, “dari mana Anda memperoleh sumber kekuatan Anda?”

“Itu adalah pertanyaan yang bagus”, tiba-tiba dia melihat Foley sebagai seseorang, bukan sekedar tenaga medis. Dikatakannya bahwa ada sesuatu di luar perawatan medis yang sangat baik yang dianugerahkan demi kelangsungan hidupnya; yaitu Tuhan. Suasana menjadi sangat hening. Mahasiswa yang perhatiannya melantur selama pembahasan mengenai riwayat medis pasien kembali terjaga, pertanyaan mulai bermunculan.

“Tak dapat dipungkiri, agama dan pengobatan memang saling berhubungan,” kata Foley. “Kita menyaksikannya dari waktu ke waktu, tidak saja pada agama yang resmi yang memberi kekuatan pada pasien tertentu, namun pada semua orang yang punya spiritualitas” katanya, “Pada dasarnya itulah yang memberi arti pada kehidupan Anda”.

Hubungan antara roh dan tubuh mungkin sudah sejak dulu terjalin, tetapi ketika penyembuhan menjadi ilmu pengetahuan, praktisi di dunia barat memisahkan spiritualitas dan keyakinan agama dari penyembuhan. Sekarang hal itu merupakan salah satu kebutuhan pasien, bersamaan dengan beberapa kajian ilmiah yang mengaitkan kepercayaan dengan kesehatan yang baik, lambat laun telah merubah masyarakat medis yang dulunya skeptis. Jurnal-jurnal ilmiah dan banyak buku-buku terbitan baru membahas pokok bahasan ini. Para dokter mulai mau menghadiri konverensi mengenai keyakinan dan penyembuhan dalam jumlah yang terus meningkat.

“Saya pikir secara umum ini merupakan bagian dari kembalinya medis ke spiritualitas”, kata Carol Hausman, seorang psikolog yang sejak enam tahun yang lalu memprakarsai “Washington Jewish Healing Network”. Sebuah organisasi yang menyediakan dukungan spiritual bagi orang sakit. “Baby Boomers (mereka yang lahir tak lama setelah perang dunia kedua berakhir) melihat orang tua mereka mulai bertambah tua, dan melihat diri mereka sendiri menjadi tua juga, mereka terus mencari kedalaman dan maknanya”.

Ilmu pengetahuan di balik agama

Gelombang studi mutakhir berserakan di antara pembatas antara rumah ibadah dan laboratorium. Misalnya, penelitian menunjukkan, bahwa orang yang melakukan ibadah keagamaan lebih dari sekali dalam seminggu rata-rata hidup 7 tahun lebih lama dibandingkan orang yang tidak melakukannya.

Penelitian oleh Duke University Medical Centre di Durham, Carolina di tahun1998, yang dilakukan dokter Harold Koenig dan David Larson menemukan bahwa orang yang pergi beribadah setiap minggu jarang yang harus dirawat di rumah sakit, dan kalaupun dirawat, mereka tidak membutuhkan waktu lama tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan mereka yang jarang ke gereja. Keterkaitan ini sebagian dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa orang yang sering ke gereja biasanya lebih sedikit merokok, minum-minum, atau melakukan hubungan seksual yang beresiko dan biasanya mereka memiliki jarngan pendukung sosial. Dalam buku The Faith Factor: Proof of the Healing Power of Prayer, seorang internis bernama Dale Matthews menunjukkan bahwa agama yang resmi menyediakan sebuah masyarakat untuk melayani dan menerima pelayanan yang menyediakan makanan kecil, kunjungan dan bantuan lain. Dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang terisolasi biasanya melakukannya dengan buruk baik secara psikologis maupun jasmaniah.

Tetapi beberapa peneliti seperti psikiatris Martin Jones, yang di kelasnya di Howard University College of Medicine di Washington mempelajari keterkaitan antara keyakinan dan penyembuhan, memberikan penjelasan yang lengkap tentang pengaruh positif spiritualitas pada kesehatan tidaklah begitu penting.

“Kami tidak memahami mekanisme dari kebanyakan obat, kita tahu dengan mengamati sebab dan akibat, bahwa itu bekerja,” kata Jones. “Seperti juga, kami bisa melihat pengaruh kesadaran spiritual seseorang pada hasilnya, jadi, mengapa tidak memanfaatkannya?”

“Itu mirip dengan efek placebo,” tambahnya, “Kenapa itu bekerja? Keyakinan. Itu adalah daya yang sangat kuat”.

Kemudian, demikian juga dengan rasa bersalah. Richard Sloan, seorang profesor pada Columbia College of Physicians and Surgeons, menentang “pencampur-adukan” keyakinan agama dokter pada pasien.

Memang benar bahwa dokter yang menyertakan spiritualitas kedalam tas prakteknya mengakui pentingnya menggunakan keyakinan hanya sebagai pelengkap perawatan medis saja, dan ini dilakukan hanya kalau pasiennya terbuka dalam membicarakan keyakinannya.

Lompatan keyakinan

Pada tahun 1996, Joe Semmes, oleh seorang dokter jaga ruang gawat darurat Arlington Hospital di Virginia, diberitahu kalau dia menderita kanker pankreas yang punya tingkat kemungkinan hidup 50% selama 5 tahun lagi. Semmes, seorang penganut Katolik, tidak pernah lagi melakukan pengakuan dosa sejak terakhir kali pada saat krisis peluru kendali Kuba tahun 1962. “Kami semua tidak melakukannya, kecuali kalau esok hari kami mati” kenang Semmes yang sekarang berusia 51 tahun dan ayah empat orang anak.

Dia mengakui bahwa konsep seperti keseimbangan dan energi sekali waktu pernah membuat matanya melotot, tetapi ketika isterinya Elonide, seorang pengusaha, meminta orang-orang untuk mendoakannya, dia tidak menolak. Tidak saja karena itu tidak berbahaya, tetapi lebih karena baru saja dia membaca tentang penggunaan meditasi atau doa kontemplatif untuk menenangkan pikiran. “Dari pada memperdebatkan masalah ini, dalam literatur ada bukti bahwa stres mengganggu sistem kekebalan tubuh. Saya pikir, apapun yang dapat saya lakukan untuk membantu sistem kekebalan tubuh, maka aku setuju saja”. Sehari sebelum eksplorasi pembedahan dilakukan pada Joe, Elonide meminta misa penyembuhan ke gerejanya. “Semua orang meletakkan tangan padaku dan menyanyikan lagu pujian,” katanya. “Kekuatan dari kelompok ini sungguh luar biasa.”

Tumor Semmes yang membungkus pembuluh darah vital, tak dapat disembuhkan dengan pembedahan, tetapi radiasi dan 36 minggu kemoterapi membantu menyusutkannya, kemudian Semmes meminta ahli bedah untuk mencoba mengangkatnya. Pada bulan Januari 1998, dilakukan pembedahan untuk membuang tumornya. Sekarang lima tahun setelah diagnosa itu, Semmes tidak lagi menunjukkan adanya tanda-tanda penyakit yang dideritanya dulu dan dia mengatakan bahwa dia punya “energi yang bagus” walaupun pembedahan itu membuang juga sebagian besar pankreasnya.

“Saya tidak ingin ada orang yang berpikir kalau saya sembuh berkat doa”, kata Semmes. “Yang menyembuhkan saya adalah radiasi dan pembedahannya, tetapi saya menjadi lebih optimis, penyembuhan adalah gerakan menuju kesehatan yang baik - sadar di mana Anda berada, terhubung dengan sesama dan saling mencintai. Peningkatan spiritualitas di saat kehancuran fisik sangatlah luarbiasa, saya telah menerima sapaaan yang menyadarkan itu”.

Resepnya doa?

Di awal karirnya, di tahun 1980, seorang dokter ahli penyakit dalam, Matthews mulai merasakan adanya keinginan pasien akan sesuatu darinya diluar diagnose medis. Pasiennya, yang tahu kalau keyakinan agamanya kuat, menginginkan agar dia berdoa bersamanya.

“Saya tidak punya acuan atas penyertaan spiritualitas dalam hubungan dokter-pasien yang dikembangkan dengan mendengarkan dan memberikan perhatian dan menghargai orang yang percaya pada keyakinan agamanya”

Matthews, anak seorang dokter pedesaan, dan cucu dari seorang pendeta, berpraktek dokter internis di Washington, dia membawa sebuah stetoskop, mempercayai sinar-X dan menulis resep Prozac bila diperlukan, tetapi ketika mempelajari riwayat medis pasiennya, seringkali dia menanyakan tingkat keyakinan agamanya.

“Seolah-olah dia mempunyai daya dukung dengan rentang yang lebih dalam”, kata seorang pasien Matthews, seorang konsultan bioteknologi yang menderita penyakit kronis dengan kondisi autoimunnya. Pada usia 47 tahun, dia menjalani operasi untuk mengganti katub aortanya, menderita penyakit Crohn pada saluran pencernaannya, dan menderita artritis di persendiannya.

Datang dengan keinginan untuk mengakhiri penyakit degeneratif yang mengancam kehidupannya tidaklah mudah. Dikatakannya bahwa dia menjalani 6 tahun kehidupannya belakangan ini dengan menjadi lebih spiritual, Matthews kadang-kadang membaca kitab suci yang akan direfleksikannya pada buku resepnya dan mengkaitkannya dengan sumber-sumber spiritual. “Ada semacam keajaiban disitu” kata seorang pasien, yang kondisinya bertambah stabil. Dia selanjutnya mengatakan “keyakinan agama saya membawa saya pada sebuah titik keseimbangan di mana saya tidak merasakan penyakit saya sebagai beban”.

Para dokter, sembuhkan diri Anda sendiri

Kalangan medis mungkin meyakini spiritualitas tertentu karena mereka sendiri dapat memanfaatkan sesuatu yang diyakininya. “Kita berada disaat yang kritis,” kata dr. Christina Puchalski, asisten profesor pada fakultas kedokteran Universitas George Washington. “Para dokter dipanggil untuk melayani, meletakkan kepentingan pasien di atas kepentingan sendiri. Itu merupakan panggilan yang sangat spiritual. Tetapi dengan kepedulian yang dibuat-buat dan dengan menjadikan perawatan medis urusan bisnis semata, kita berada dalam bahaya kehilangan perasaan, cita-cita dan nilai”.

Dokter dan pasien, bagaimanapun terus menunjukkan keinginan untuk mempertahankan keyakinannya. Di tahun 1996 Asosiasi Perguruan Tinggi Kedokteran Amerika mulai mewawancarai pengacara, dokter, pimpinan perusahaan asuransi, mahasiswa kedokteran dan anggota masyarakat lainnya, untuk memberikan laporan yang objektif bagi sekolah kedokteran. Masalah budaya, spiritual dan pengakhiran kehidupan muncul sebagai tema yang cukup menonjol. Dan sekolah-sekolah itu menanggapi keinginan itu : pada tahun 1992 hanya beberapa saja yang mengajarkan spiritualitas, sekarang kira-kira ada 50 fakultas kedokteran dari 125 yang ada di Amerika telah mempunyai kurikulum itu.

Selama semester musim gugur di Georgetown, mahasiswa tahun pertama mendapat pelajaran gabungan antara biokimia dan pelajaran yang disebut “tradisi religius” dalam pelayanan kesehatan. Termasuk di situ saling keterkaitan antara spiritualitas dengan kesehatan, dan mengajarkan perihal agama-agama besar di dunia dari sudut pandang medis.

Team dokter yang menguasai bidang keagamaan mengetengahkan berbagai pandangan agama : Buddha, Hindu, Islam, Yahudi, Katolik dan Protestan. Para siswa belajar bahwa jangkauan beberapa agama juga sampai pada euthanasia, transfusi dan penggunaan obat-obatan maupun teknologi.

Mereka diajari bagaimana menggabungkan sejarah spiritual kedalam riwayat medis. Memastikan apa keyakinan pasien pada kenyataannya bukanlah hal yang menakutkan, mereka juga belajar bagaimana cara merujuk pada sumber-sumber keagamaan, sebagaimana pendeta yang bertugas di rumah sakit, kalau pasien membutuhkan bimbingan. “Para mahasiswa sangat tertarik pada hal semacam ini” ujar Brownell Anderson dari Asosiasi perguruan tinggi kedokteran Amerika. “Para mahasiswa memasuki fakultas kedokteran karena punya kepedulian pada orang lain. Mereka mengakui bahwa teknologinya memang luar biasa, tetapi mereka juga ingin dapat berkomunikasi dengan masyarakat sehingga dapat mengekspresikan kepedulian mereka. Mereka ingin melakukan dengan seluruh jiwa mereka”

Perawatan total

Ketika seorang pemandu talkshow radio Diana Rehm mulai kehilangan suaranya, dia menjalani pemeriksaan dan perawatan, mencoba berbagai macam pengobatan dan berkonsultasi ke berbagai spesialis. Tetapi pada tahun 1998, setelah tujuh tahun tanpa hasil, suaranya jadi demikian gemetar, sehingga dia terpaksa berhenti bekerja.

Maka ketika seorang rekannya mengajaknya untuk ikut serta dalam doa penyembuhan, Rehm yang yakin bahwa doa dapat menguatkan, setuju. Di gereja, temannya, kemudian juga seorang pendeta, bersama seorang sejawatnya, melakukan ritual penyembuhan yang sudah berusia berabad-abad, mereka menumpangkan tangan di atas kepala Rehm dan mengucapkan doa untuk kesembuhannya. Ketika semuanya berakhir, tidak ada perubahan pada suaranya, tetapi dia merasa lebih nyaman.

“Apakah saya merasakan pancaran sinar, atau aliran energi?”. “Tidak, saya hanya merasakan kedamaian, dan perasaan bahwa apa yang mereka ucapkan dan mereka lakukan akan menolong saya”, kata Rehm.

Dia terus menjalani ritual penyembuhan itu seminggu sekali, tetapi dia juga terus mencari bantuan medis. Dua bulan kemudian Dr. Paul Flint dan Dr. Stephen Reich dari rumah sakit Johns Hopkins di Baltimore mendiagnosa dia mengidap Spasmodic Dysphonia yang mempengaruhi otot yang menghasilkan suara. Mereka merekomendasikan untuk melakukan suntikan secara berkala untuk sementara melumpuhkan otot vokalnya yang terlampau aktif. Rehm juga menjalani perawatan akupunktur. Sejauh ini perawatan itu berjalan baik, demikian juga keadaan Rehm.

“Penyembuhan bisa datang dalam bentuk penerimaan, berkaitan dengan diri Anda sendiri dan orang lain dengan cara yang berbeda, mempertahankan perasaan damai dalam wajah penderitaan”, ujar Rehm. Dia menekankan, seperti orang lain juga, bahwa keyakinan merupakan pelengkap dari perawatan medis.

“Penyakit berlandaskan kejasmanian”, ujar Jones dari Universitas Howard, yang merupakan orang yang berhasil mengatasi kankernya. “Tetapi di situ ada jenjangnya, tingkat jasmaniah, tingkat emosional dan tingkat spiritual”. Jones meramalkan adanya sedikit pergeseran dalam praktek medis, dari penanganan penyakit ke penanganan seluruh manusianya.

“Tidak diragukan lagi dalam hal penyakit, ilmu pengetahuan sungguh luar biasa”, ujar Pulchalski, yang juga adalah Direktur Pendidikan dari National Institute for Healthcare Research.

“Kita telah meningkatkan harapan hidup sampai duapertiganya di abad ke duapuluh, dan ini terutama karena ilmu pengetahuan, dan nampaknya kita seperti menaruh telur dalam satu keranjang, ilmu pengetahuan bukanlah segala-galanya.”

“Ada pertalian keyakinan yang tidak dapat muncul bila Anda hanya memusatkan perhatian pada segi jasmani seseorang”, tambah Pulchalski “Ini tidak memerlukan waktu, ini seperti memasuki ruang periksa dengan hati yang terbuka”.

Dengan kata lain, bukannya penyembuhan keyakinan, tetapi keyakinan dalam penyembuhan.

———-

No comments: