Sunday, September 7, 2008

Nikmatnya Menawar

Oleh : Bernard Prasodjo (MP 27)

Ketika kita pergi ke pertokoan di Mangga Dua yang tersohor itu untuk membeli sesuatu, biasanya kita berjalan dari toko ke toko, dari ujung ke ujung, tawar sana tawar sini, agar memperoleh harga yang paling murah. Kadang kita balik lagi ke toko semula yang letaknya di sisi lain karena ternyata harga yang diberikannya paling murah, walau selisihnya hanya Rp. 500,- untuk benda yang berharga puluhan ribu. Sebenarnya kalau diperhitungkan dengan penatnya, waktu yang terbuang, energi yang dikeluarkan, uang sebesar itu sangat tidak berarti, tetapi itulah, karena yang dicari adalah kepuasan hati.

Atau kadang kita tidak mau tahu, ketika kita mau membeli benda-benda seni, sering kali kita mulai mengkalkulasi, lukisan seharga dua puluh juta? Mahal amat! Harga kanvas paling mahal cuma limapuluh ribu, cat tidak lebih dari tigaratus, waktu pengerjaannya paling hanya tiga hari, lukisan semacam ini modalnya tidak sampai sejuta! Ditambah keuntungan, paling mahal harganya satu setengah juta!! Terkadang ada saja orang yang berpendapat demikian, tanpa mempedulikan nilai seninya. Sebaiknya kalau memang kita tidak berminat, tidak perlu kita mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat semacam itu, bahkan dalam hati sekalipun jangan pernah berpikir seperti itu.

Ketika suatu ketika seorang teman menyertai Master Choa berjalan-jalan di pasar seni, Master tertarik dan ingin membeli sebuah batu kristal yang dipajang di sebuah kios yang ada di sana, setelah menanyakan harganya, teman tadi mulai menawar dengan gigih sampai akhirnya disetujui harganya, tetapi yang membuat heran, atau mungkin membuat kesal teman tadi, Master membayar batu kristal itu seharga yang tertera di batu tadi, jadi percuma saja teman tadi menawar, namun yang pasti penjualnya tentu merasa senang karena keuntungannya memadai.

Pada peristiwa lain, setelah malam harinya mengadakan pertemuan alumni di Padang, seorang pelatih dari Jakarta ingin membeli patung keramik yang saat itu sedang di pamerkan, mereka, tuan rumah, beberapa alumni, pelatih tadi bersama Herminia berjalan kaki menuju tempat itu, karena memang letaknya tidak terlalu jauh, hanya di tikungan di seberang jalan. Setelah melihat-lihat dan akhirnya menentukan mana yang akan dibeli, maka ditanyakanlah harganya, tigaratus ribu rupiah, kata penjualnya terbata-bata, karena pedagang dari China itu tidak begitu menguasai bahasa Indonesia. Segera saja Herminia berkata, “biar saya yang membayar, saya yang akan memberikannya sebagai oleh-oleh,” katanya sambil mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu rupiah. Kemudian seorang rekan dari Padang dibantu dengan bahasa isyarat mulai menawar, mulai dari seratus ribu, dan perlahan lahan meningkat; seratus sepuluh, seratus dua puluh, seratus duapuluh lima, terus naik sampai seratus lima puluh ribu. Si pedagang juga berangsur menurunkan harga sampai duaratus ribu, kedua belah pihak terus bertahan, Herminia hanya diam saja, tetapi nampak ada sesuatu yang mengganggu perasaannya, akhirnya rombongan pura-pura meninggalkan tempat dan si pedagang akhirnya menyerah, patung itu diberikan dengan harga seratus limapuluh ribu rupiah.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah-kisah di atas? Masih ingat apa yang dikatakan dalam “Peraturan Emas?” Peraturan Emas Yin berbunyi: Jangan perbuat kepada orang lain apa yang kamu tidak inginkan orang lain perbuat atas dirimu. Sedangkan Peraturan Emas Yang mengatakan: Perbuatlah kepada orang lain seperti yang kamu inginkan orang lain perbuat atas dirimu! Jadi kalau kita tidak ingin di tekan (di sini ditawar habis), jangan menekan orang lain. Atau kalau kita ingin memperoleh banyak keuntungan, banyak rejeki, berikanlah keuntungan atau rejeki yang memadai kepada orang lain.

Menawar, dalam bahasa Inggris adalah to bargain, yang berasal dari akar kata bar dan gain. Bar = menghalangi, menghambat, gain = pendapatan, keuntungan, rejeki. Jadi bargaining atau menawar adalah menghambat rejeki orang lain. Kalau kita berbuat demikian, maka rejeki kitapun juga akan terhambat!! Boleh saja kita menawar, tetapi tidak dengan menekan sampai keuntungan orang itu jadi kecil sekali, atau sering diistilahkan, berikanlah santannya, jangan diperas sampai tinggal ampasnya saja. Sedikit menawar boleh saja. Kalau nanti ternyata kemahalan, kita anggap saja itu sebagai rejeki orang tadi. Jangan takut berbuat demikian, jangan takut pengeluaran kita akan bertambah besar, karena dengan bertindak demikian pendapatan kita juga akan bertambah besar juga, bahkan jauh lebih besar dari tambahan pengeluaran yang disebabkan karena kita tidak terlalu menawar.

Kalau tahu harga benda atau jasa yang kita inginkan terlalu mahal atau di luar kewajaran, jangan dibeli, dengan tetap bersikap positif cari saja barang sejenis ditempat lain yang harganya normal. Kita tidak perlu mengatakan, “mahal amat,” “tidak punya uang,” “memangnya gampang cari duit,” atau yang sejenisnya, karena itu merupakan bentuk pikiran negatif yang bila terus diulang akan menjadi kenyataan. Tetapi kalau sudah terlanjur membelinya, relakan saja karena itu tetap merupakan keuntungan bagi sipenjual, doakan saja agar keuntungan yang diperoleh itu dapat bermanfaat bagi peningkatan spiritualnya.

Bagaimana kalau kita bermaksud berbaik hati dengan memberikan “pendidikan” kepada orang yang menjual barang atau jasa dengan harga diluar kewajaran atau berniat menipu itu, dengan tujuan agar dia terbebas dari karma buruk? Tentu baik kalau kita bermaksud demikian, tetapi itu memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan memerlukan waktu yang lama, untuk memberikan sebuah pemahaman baru, apalagi merubah tabiat seseorang, tentu tidak cukup hanya dengan mengucapkan beberapa kalimat saja, karena untuk itu dibutuhkan sebuah keahlian dan energi spiritual yang sangat lembut dan aura yang bersih dan kuat, lagi pula saat ini, hal demikian bukanlah tugas kita.

----------

No comments: