Thursday, November 20, 2008

Lubang Resapan Biopori

Sumber: Kapanlagi.com

Walau sudah lebih dari dua tahun ramai diwacanakan dan diberitakan pembuatan Lubang Resapan Biopori yang dapat mengurangi bahaya banjir ini, kami merasa perlu untuk mengetengahkannya sekali lagi sekaligus mengingatkan perlunya kita semua membuat Lubang Resapan Biopori dipekarangan kita masing-masing, sebelum musim hujan tiba. Kita juga akan membahas bagaimana cara membuatnya dan apa saja manfaatnya.

Ditengah-tengah bergulirnya wacana yang ada, dari Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui seorang ilmuwannya, yakni Ir Kamir R Brata, MS, staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, mencoba menawarkan solusi teknologi alternatif, yang bisa mengurangi dampak banjir.

Kepada pers, di kediamannya Desa Cibanteng, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, ia mengenalkan sekaligus menawarkan solusi mengatasi banjir itu, yang telah diterapkan di area sekitar tempat tinggalnya.

Sebagai salah satu upaya mengatasi banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya setiap tahun, Kamir R. Brata memperkenalkan teknologi 'lubang serapan biopori' yang relatif mudah diaplikasikan mulai dari skala rumahtangga hingga skala lebih luas.

"Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan. Teknologi ini merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi musibah banjir negeri ini," katanya.

Banyaknya lahan atau bangunan yang kedap air, katanya, menyebabkan air hujan yang turun tidak terserap tanah dan akhirnya membuat aliran permukaan hingga hilir. Inilah yang akhirnya menimbulkan banjir.

"Karenanya, diperlukan teknologi sederhana, tepat guna, mudah murah dan bisa dilakukan siapa pun," katanya.

Teknologi 'lubang serapan biopori' diawali dengan pembuatan lubang sedalam 80 cm dan diameter 10 cm. Langkah selanjutnya adalah memasukkan sampah lapuk dua hingga tiga kilogram, tergantung jenis sampah, ke dalam lubang tersebut.

"Sampah-sampah itu kemudian diurai oleh organisme pengurai sehingga terbentuk pori-pori," katanya dan menambahkan dDengan cara ini, air hujan yang turun tidak membentuk aliran permukaan, melainkan meresap ke dalam tanah melalui pori-pori.

"Jangan khawatir tanah akan menjadi lunak, karena air yang terserap akan tersimpan menjadi cadangan air di bawah tanah," katanya.

Ia menyarankan agar kedalaman lubang yang dibuat kurang dari satu meter, karena bila lebih dari itu cacing-cacing dan organisme pengurai lainnya kekurangan oksigen sehingga tidak dapat bekerja dengan baik.

Lubang Resapan

Prinsip pada teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut.

"Selama ini yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran," katanya.

Dinamakan teknologi biopori atau 'mulsa vertikal', karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki.

"Cara ini disamping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta," katanya.

Di kawasan perumahan yang 100% kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor.

Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga.

Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.

Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang.

"Tidak perlu khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik," ujarnya.

Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata.

Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. "Saya sudah membuktikan, dengan membuat lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur," katanya.

Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air.

Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang serapan yang diisi dengan sampah organik.

"Jangan khawatir ada tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air," kata Kamir.

Lebih lanjut ia menegaskan, aplikasi teknologi tepat guna ini memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik.

Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan manfaatnya untuk mengatasi banjir, kata Kamir.

Selain mempraktikkan proses pembuatan lubang, sempat ditunjukkan juga penerapan teknologi itu di lahan percobaan Cikabayan, Kampus IPB Darmaga.

Cara pembuatan lubang biopori:
  1. Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diamater 10 cm. Kedalaman kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antarlubang antara 50 - 100 cm.
  2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2-3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang.
  3. Isi lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan atau pangkasan rumput.
  4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan kedalam lubang yang isinya sudah berkurang dan menyusut akibat proses pelapukan.
  5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau dengan pemeliharaan lubang resapan.
----------

No comments: