Thursday, December 11, 2008

Shangri-La dan Yeti

Oleh : Swami Rama

Orang barat banyak mendengar kisah tentang Yeti, manusia salju dan Shangri-La. Walaupun kisah-kisah itu hanya berdasarkan fantasi dan pendapat yang salah, keingintahuan yang meluas di barat menarik minat mereka untuk mencoba menguak rahasia Himalaya itu. Mereka dibantu oleh para sherpa sebagai pemandu, mereka secara tradisionil telah dilatih untuk mendaki gunung dan membiayai hidupnya dengan memandu para pengelana ini keberbagai gunung di Himalaya. Para Sherpa ini sangat memahami seluk beluk puncak gunung yang tersohor itu dan sangat membantu ketika memandu para pendaki dan mereka yang melakukan ekspedisi, tetapi sayangnya mereka sama sekali tidak tahu tentang tradisi spiritual dari berbagai bagian pegunungan Himalaya.

shangrila

SHANGRI-LA

Banyak orang asing telah mengunjungi pegunungan ini untuk mencari Shangri-la. Shangri-La diyakini sebagai surga dunia, sebuah tempat tersembunyi di mana penghuninya penuh dengan kemakmuran, ketenteraman dan kebahagiaan dan karenanya tidak bisa menjadi tua. Tetapi sebenarnya, pada kenyataannya tidak ada tempat yang disebut dengan Shangri-la di Himalaya. Mitos mengenai Shangri-la berdasarkan pada adanya dua buah pertapaan/biara kuno yang tersembunyi dalam gua di Himalaya.

Dalam naskah tradisional kuno, tempat ini pernah disebutkan dan sejak lama secara turun temurun digunakan sebagai tempat bermeditasi dan latihan spiritual. Yang satu terletak di gunung Kinchachanga di ketinggian 4700 meter dan satu lagi, di mana saya tinggal, ada dipedalaman Himalaya di perbatasan antara Tibet dan Farhwal. Pertapaan dalam gua ini dapat menampung banyak praktisi dengan nyaman. Tempat ini terletak di ketinggian 4000 meter di atas permukaan laut. Sangat sedikit orang yang telah mengunjungi tempat ini. Pertapan ini sampai sekarang masih ada, disana banyak disimpan naskah-naskah Sansekerta, Tibet dan Sandhya Basha.

Orang-orang asing mengunjungi Himalaya, terutama ke Darjeeling dengan bantuan para sherpa, mereka mendaki pegunungan. Dalam ekspedisinya mereka membicarakan dan berpikir tentang Shangri-la, manusia salju dan Yeti. Mereka membawa kamera, tenda, alat pernapasan dan makanan kaleng. Dengan demikian mereka mengotori berbagai tempat di Himalaya dengan sampahnya. Tetapi ada bagian lain di Himalaya yang tidak mereka ketahui, mereka yang belum siap dan yang masih mementingkan kehidupan duniawi sebaiknya tidak usah berniat mengunjunginya.

Suatu ketika saya pernah berjumpa dengan satu orang barat yang kaya bersama teamnya dari India, mereka sedang mencari manusia salju. Saya tidak berhasil meyakinkan mereka bahwa apa yang disebut dengan Yeti atau manusia salju sebenarnya tidak ada, mereka menghabiskan waktu selama empat bulan dan 33000 dolar dalam upaya mereka mencarinya. Akhirnya dengan kecewa mereka kembali ke Delhi. Orang kaya dari Amerika ini ingin membuat film mengenai Yeti atau manusia salju dan dia mempublikasikan sebuah foto seorang Shadu Nepal (pertapa pengelana, kebanyakan dari mereka tidak mengenakan pakaian, hanya bercawat saja dan rambut serta janggutnya terurai panjang), dan mengatakan bahwa itu adalah foto manusia salju. Saya juga berjumpa dengan seorang wanita barat bersama dua orang sherpa yang memandunya menuju Sikkim. Dia menderita pembekuan yang parah. Dia mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah mencari manusia salju. Dia tinggal di Darjeeling dan sudah tiga kali mencoba mencari manusia salju, tetapi tidak berhasil menemukannya.

Walaupun sejak kecil sudah berkelana di pegunungan Himalaya, saya tidak pernah bertemu dengan manusia salju, tetapi saya sering mendengar kisah tentang mereka. Para nenek di dusun Himalaya sering menceritakan kisah seperti itu kepada cucu-cucunya. Cerita tentang manusia salju sama purbanya dengan kemampuan daya pikir manusia berfantasi.

Di tempat di mana salju demikian tebal, pandangan mata seseorang menjadi kabur dan beruang putih yang memang jarang terlihat di pegunungan, dari jauh bisa disangka manusia salju. Beruang-beruang ini tinggal di ketinggian pegunungan dan sering mencuri perbekalan rombongan ekspedisi. Mereka meninggalkan jejak panjang yang mirip dengan jejak kaki manusia.

Kata Yeti disalah artikan sebagai manusia salju. Yeti adalah kata dalam bahasa sansekerta yang punya arti orang yang meninggalkan keduniawian, hidup sangat sederhana, dan juga merupakan sebutan bagi sekelompok shadu anggota golongan shankaracharya. Sungguh ganjil menggunakan kata itu untuk menyebut manusia salju; Yeti adalah manusia biasa, bukan manusia salju.

Pikiran manusia masih berada dalam pengaruh khayalan sampai ketidak tahuan nanti benar-benar lenyap. Bila tidak ada kejernihan pikiran, data yang dikumpulkan bersama di dunia fana tidak dirasakan dengan sikap yang terkoordinasi, dan pikiran yang kabur memahaminya secara keliru. Ini merupakan modifikasi pikiran seperti angan-angan, fantasi, perlambang dan gagasan. Maya merupakan khayalan kosmik dan Abidya adalah kebodohan perseorangan yang berasal dari kurangnya pengetahuan tentang suatu benda serta kodratnya, itu juga merupakan sebuah ilusi. Kisah tentang si kaki besar (Big Foot) berdasarkan pada keyakinan akan sebuah fantasi dan penggambaran yang tidak terkoordinasi. Bila seekor beruang berlari cepat di salju, memanjat atau berlari menuruni pegunungan, ukuran jejak kakinya nampak sangat besar. Suatu ketika saya memelihara seekor anak beruang, saya sendiri tercengang melihat betapa besar jejak kaki yang dibuatnya. Biasanya sebesar tapak kaki manusia.

Ya ampun! Dunia, di bawah pengaruh ilusi, masih saja mencari bayangan dan si kaki besar. Saya menyebut itu dengan ‘maya Himalaya’. Saya dilahirkan dan tinggal di pegunungan ini dan tak ada yang dapat saya katakan kepada mereka yang sangat tertarik untuk mempercayai mitos seperti itu. Mereka masih saja mencari sesuatu yang tidak pernah ada. Jejak yang dilihat bukanlah jejak kaki manusia salju atau Yeti, tetapi khayalan.

----------

No comments: