Wednesday, September 3, 2008

Waspadai Depresi pada Lansia

Oleh: EVY

KOMPAS; Kamis, 26 Juni 2008 | 19:12 WIB

Meski sudah berusia lanjut, otak harus tetap dilatih dan digunakan. Kunci untuk menjalani kehidupan lanjut usia (lansia) adalah terus menggunakan otak untuk berpikir.

Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui pada lanjut usia (lansia) membutuhkan penatalaksanaan holistik dan seimbang pada aspek fisik, mental dan sosial. Di samping itu, depresi pada lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini mungkin karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit fisik dan kualitas hidup pasien.

“Keterlibatan keluarga secara aktif sejak awal terapi merupakan langkah yang harus ditempuh untuk memberi dukungan pada pasien dan akan berdampak positif terhadap kelangsungan pengobatan,” kata psikiater Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K) dari Divisi Psikiatri-Geriatri, Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI -RSCM), dalam media edukasi, Kamis (27/6), di Jakarta.

Deteksi dini, lanjut Suryo, perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama pada lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatis kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan isolasi sosial. “Waspadai jika pasien lansia menunjukkan keluhan subyektif tentang kelelahan kronis atau menurunnya kondisi fisik tanpa diketahui penyebab klinisnya. Ini kemungkinan karena depresi,” ujarnya.

Selain itu, perubahan sikap lansia dalam pengobatan juga pertanda depresi pada lansia, seperti perubahan kepatuhan berobat, mengabaikan anjuran dokter, minum obat sembarangan, melanggar diet. “Perlu diwaspadai jika terdapat kekambuhan berulang terhadap pengobatan penyakit kronis yang dideritanya meski terapi sudah optimal, motivasi dan tingkat partisipasi yang rendah, kehilangan minat terhadap aktivitas yang disukai , gangguan tidur, selera makan menurun; perubahan sifat dan perilaku,” kata Suryo.

Sejauh ini, prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15 persen dan hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5 persen dengan perbandingan wanita-pria 14,1: 8,6. Adapun prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45 persen.

Depresi pada lansia seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Depresi pada lansia lebih banyak tampil dalam keluhan somatis, seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan berat badan, dan sebagainya. Depresi pada lansia juga dapat tampil dalam bentuk perilaku agitatif, ansietas atau penurunan fungsi kognitif.

Sejumlah faktor pencetus depresi pada lansia, antara lain faktor biologik, psikologik, stres kronis, penggunaan obat. Faktor biologik misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko vaskular, kelemahan fisik. Sedangkan faktor psikologik pencetus depresi pada lansia, yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal. Peristiwa kehidupan seperti berduka, kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi, stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.

Menurut Suryo, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada lansia yaitu perubahan faal oleh proses menua, status medik atau komorbiditas penyakit fisik, status fungsional, interaksi antar obat, efektivitas dan efek samping obat serta dukungan sosial. “Penatalaksanaan depresi pada lansia mencakup terapi biologik dan psikososial,” katanya.

Terapi biologik antara lain dengan pemberian obat antidepresan, terapi kejang listrik (ECT), terapi sulih hormon dan Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Sementara terapi psikosial bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif, yaitu mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga , kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.

Pada tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan meningkat 4 kali lipat. Masalah kesehatan lansia kian menonjol sementara upaya pelayanan kesehatan bagi lansia masih terbatas kuantitas dan kualitasnya. Menjadi tua berarti mengalami beragam perubahan baik fisik dan psikososial sejalan bertambahnya umur. “Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak bisa diingkari, namun kualitas hidup harus diupayakan tetap terjaga sehingga dapat sehat, aktif dan mandiri, katanya.

———-

No comments: