Monday, April 6, 2009

Dampak Stres

STRES: DAMPAK DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Oleh: Dr Umi Ardiningsih SpKJ

*
PENGANTAR


Dewasa ini setiap orang berbicara tentang stres. Kita mendengar topik ini sebagai bahan pembicaraan se
hari-hari, baik di radio, televisi, surat kabar dan diberbagai konferensi maupun di kalangan Universitas. Sayangnya hanya sedikit saja orang yang mengerti konsep stres yang benar. Manager menganggap stres sebagai frustasi atau ketegangan emosi; pengatur lalu lintas pesawat berpendapat sebagai problem konsentrasi; seorang remaja yang kandas cita-citanya dan para atlit yang gagal berprestai karena ketegangan otot. Secara umum pengertian stres adalah suatu bentuk ketegangan yang mempengaruhi fungsi alat-alat tubuh. Kalau ketegangan itu berlebihan sehingga menggangu fungsi alat-alat tubuh tadi, maka keadaan demikian disebut dengan istilah distres. Stres dalam kehidupan tidak dapat dihindarkan. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres.

Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi mempunyai dampak pada kehidupan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan atau stres pada dirinya. Stres sendiri merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang demikian cepatnya dalam abad ke duapuluh satu ini, suatu ironi kehidupan. Manusia menciptakan berbagai macam produk untuk meningkatkan taraf hidupnya, untuk hidup lebih efisien, namun dalam proses memproduksi berbagai macam produksi, manusia harus menghadapi berbagai macam kondisi, yang dapat menimbulkan stres yang lebih banyak.


Seorang yang menderita stres, selain terwujud dalam berbagai macam penyakit, dapat pula terungkap melalui ketidak mampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga menderita gangguan kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatik. Penderitaan fisik dan/atau psikik menyebabkan orang tak dapat berfungsi secara wajar, tak mampu berprestasi tinggi dan sering menjadi masalah bagi lingkungannya (di rumah, di tempat kerja atau lingkungan sosial lain), merupakan akibat dari stres yang berkelanjutan.


Makalah ini berupaya membahas masalah stres dan upaya penanggulangannya. Mula-mula akan dibahas arti dari stres, jenis stres, dampaknya terhadap individu. Akhirnya akan dijelaskan berbagai macam cara atau metode yang dapat dilakukan sebagai upaya penanggulangan stres.


*
ARTI STRES


Istilah stres dalam fisika diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang cukup besar terhadap suatu obyek atau sistem untuk merusaknya atau merubah bentuknya. Herbert Benson dalam bukunya “The Relaxation Response” memberi batasan stres sebagai “enviromental demands that require behavioral adjustment”. Batasan ini memberikan arti yang sama kepada stres sebagaimana artinya dalam fisika yaitu adanya suatu kekuatan di luar obyek yang terkena kekuatan tersebut. Dalam obyek timbul ketegangan tertentu untuk dapat mempertahankan bentuknya. Pada manusia kekuatan lingkungan juga menimbulkan ketegangan. Untuk dapat bertahan manusia perlu menyesuaikan perilaku dirinya. Jika tak berhasil dalam penyesuaian dirinya ia akan berubah bentuknya atau akan hancur.


Yang kurang diperhatikan dalam batasan di atas ialah kemampuan kognitif manusia. Manusia bukan merupakan organisasi yang secara refleks otomatis memberikan reaksi. manusia memiliki cognitive - appraisal system (Woolfolk & Richardson, 1979) sehingga ia memberikan arti kepada apa yang terjadi di lingkungannya. Peritiwa atau kejadian di sekitar kita perlu kita alami atau hayati sebagai suatu stres berdasarkan arti atau interpretasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, bukan karena peristiwa itu sendiri. Misalnya pelamar menghadapi wawancara seleksi. Ada pelamar yang menghayati wawancara seleksi ini sebagai suatu stres, pelamar lain sama sekali tak merasakannya. Yang merasakan wawancara seleksi sebagai suatu stres memberikan arti bahwa wawancara seleksi ini dapat merubah kehidupannya. Kalau hasil wawancara diterima, ia akhirnya akan mendapat pekerjaan. Jadi lingkungan hanya memberikan tuntutan (yang menimbulkan stres), jika tuntutan tersebut dipersiapkan atau dihayati sebagai tuntutan. Tuntutan juga tidak akan menimbulkan stres, jika tuntutan tersebut dipersepsikan sebagai tak berarti, atau jika tak ada suatu akibat apa pun.


Seorang tenaga kerja melanggar suatu peraturan tak mengalami pelanggarannya sebagai suatu stres, karena melihat tak akan ada sanksi terhadap perbuatannya. Selain tuntutan lingkungan harus dipersiapkan sebagai tuntutan dan dipersepsikan akan mempunyai akibat yang merugikan, timbulnya stres juga ditentukan oleh sejauh mana seseorang menganggap bahwa ia dapat atau mampu memberikan jawaban yang berhasil terhadap tuntutan tersebut. Seorang salesman yang harus mencapai sasaran penjualan produk minimum dalam satu bulan, tak akan mengalami stres jika ia merasa yakin ia mampu menjual produk lebih banyak dari yang ditentukan. Sebaliknya jika ia merasa tak mampu mencapai sasaran tersebut, karena berbagai macam hal (misalnya belum berpengalaman, atau daerah penjualannya “kering” dan sebagainya), maka ia akan mengalami stres. Dapat disimpulkan bahwa stres bukan terletak di luar diri kita, di lingkungan kita, melainkan terletak dalam diri kita sendiri.

Aspek lain dari stres ialah bahwa stres membuat organisme waspada, siaga atau aktif, menggerakkan organisme. Penggerakan ini dapat bercorak intelektual, emosional, faali, atau perilaku. Seorang staf dari bagian penelitian dan pengembangan yang mengalami stres karena masalah kualitas produk yang harus ditingkatkan dapat mencapai tingkat kesiagaan intelektual yang tinggi, lebih tinggi dari biasanya. Jika tenaga kerja merasa terancam akan kena Pemutusan Hubungan Kerja, akan timbul reaksi emosional.

Pergerakan faali akan terjadi setiap kali orang mengalami stres. Bila terjadi kebakaran maka orang langsung memperhatikan bentuk perilaku penyelamatan (memadamkan kebakaran atau lari). Pergerakan yang sering dikaitkan dengan stres adalah fight-or-flight-response (jawaban lawan - atau - lari). Jawaban lawan-atau-lari merupakan pola terkoordinasi dari jawaban-jawaban yang terjadi jika badan menghadapi suatu keadaan darurat. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang dapat bereaksi menghadapi (melawan) stres atau menghindari (meninggalkan/lari) dari stres.


Sebagai kesimpulan dari uraian di atas dapat diberikan batasan dari Woolfolk & Richardson (1979) yaitu bahwa stres adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidak senangan, yang menggerakkan, menyiagakan, atau membuat aktif organisme.


*
JENIS STRES


1. Stres dapat bersifat organobiologik (fisik), seperti :

  1. kelelahan fisik, seorang karyawan swasta yang kuliah lagi.
  2. rudapaksa fisik, kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan pada seseorang.
  3. gizi kurang (malnutrition), seperti anak Somalia dengan tatapan mata yang sayu.
  4. penyakit infeksi, penyakit tipus sering diikuti dengan tingkah laku sangat gelisah.
  5. tindakan operasi, operasi payudara dapat menyebabkan stres berat pada seorang wanita.

2. Stres juga dapat bersifat psiko-edukatif.

Ini berarti ia berasal dari alam psikologik (kejiwaan) dan alam pendidikan (edukasi) dari individu yang bersangkutan. Walaupun jenis-jenis stres itu dapat disebutkan satu demi satu, perlu diketahui bahwa semua jenis stres itu berpengaruh secara menyeluruh (integratif) terhadap perilaku individu. Dengan demikian, tidak jarang dapat ditemukan suatu “pola stres” tertentu :


i) Berbagai konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan urban/modern.

  • konflik menantu dan mertua yang berkelanjutan, karena berbagai ketidakcocokan padahal tinggal bersama.
  • ibu-rumah tangga yang frustasi tidak boleh bekerja lagi padahal berpendidikan tinggi.
ii) Berbagai kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan “rendah diri” sehingga individu “benar-benar” merasa dirinya terpukul “Antara lain dapat disebabkan kegagalan dan rasa rendah diri di mana terasa sekali bahwa “ideal yang diidam-idamkan” tidak mungkin tercapai, contoh: remaja putri yang tidak berhasil dalam sipenmaru.

iii) Berbagai kondisi kehilangan “status” dan perasaan dirinya “cacat” atau “habis riwayatnya”. Umpamanya bila orang benar diberhentikan dari posisinya, benar kehilangan sebagian besar keuangannya yang dihimpunnya selama hidupnya, benar kehilangan kawan karib/kawan seperjuangan/istri atau suami yang sangat dicintainya. Begitu pula seorang suami yang tertekan karena karier dan penghasilan istri melesat tinggi dibandingkan dengan dirinya.


iv) Berbagai kondisi iri hati karena dalam membandingkan diri dengan orang lain / pihak lain (status, posisi, kekayaan, dll). Misalnya seorang karyawan yang mempunyai kemampuan dan pendidikan lebih tinggi hanya menduduki jabatan yang lebih rendah, sedangkan yang berada diposisi tersebut kurang kemampuannya tetapi masih ada hubungan keluarga dengan pimpinan kantor.


v) Berbagai kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang menentukan kehidupan, umpama: penampilan fisik, jenis kelamin, usia, intelegensi, kondisi cacat (handicap). Misalnya seorang ibu walaupun cukup menarik tetap merasa kurang karena hidungnya yang kurang mancung.


vi) Berbagai kondisi perasaan bersalah/berdosa. Tidak jarang berhubungan dengan kode moral etik yang dijunjung tinggi secara pribadi, tetapi gagal dianut dalam praktek. Seseorang yang tergoda orang ketiga sewaktu pasangannya sedang tugas belajar kemudian merasa berdosa karena menghianati suaminya.


*
3. Stres sosio-kultural

  1. Kehidupan modern menempatkan individu-individu dalam suatu “kancah stres sosio-kultural” yang cukup besar. Perubahan-perubahan sosial / ekonomi dan sosial budaya berdatangan secara bertubi-tubi. Berbagai kondisi stres dapat dikemukakan secara lebih terperinci, diantaranya :
  2. Berbagai fluktuasi ekonomi dan akibatnya (menciutnya anggaran rumah tangga; pengangguran; kegelisahan tertentu yang menimpa pribadi individu maupun kelompok, dan lain-lain). Bayangkan seorang istri yang harus mengatur gaji untuk kebutuhan 1 (satu) bulan semakin bingung karena kenaikan gaji yang diterima tidak memadai dengan kenaikan barang kebutuhannya.
  3. Kesenjangan hidup keluarga
  4. Berbagai indikator sosial kultural dapat dipergunakan untuk menilai hal tersebut, diantaranya jumlah perceraian; konflik yang mengakibatkan keretakan rumah tangga, berbagai kekecewaan dan sebagainya. Pengaruh urbanisasi dan modernisasi dengan peningkatan tuntutan dan efisiensi hidup dan finansiil / materiil tidak jarang melandasi kehidupan keluarga. Demikian pula tidak terpenuhinya hal-hal di bidang lain, “peranan” yang diharapkan dijalankan oleh pihak suami/istri mertua/orang tua/anak/menantu dan lain-lain.
  5. Ketidakpuasan bekerja
  6. Dalam hubungan dengan kepuasan bekerja ternyata cukup banyak orang menganggap hal itu hanya “sekedarnya” apa boleh buat “merasa terpaksa karena tuntutan hidup”, sehingga mungkin tidak lebih dari 1/4 atau 1/3 jumlah tenaga kerja benar-benar yakin bahwa ia memperoleh kepuasan bekerja dalam menjalankan profesi/pekerjaannya. Salah satu faktor tersusupnya secara makin infiltratif yang disebut “teknologi modern” (menengah atau tinggi) yang makin menggolong-golongkan individu dalam segmen-segmen kerja yang anonim tanpa kemungkinan kreativitas yang sungguh-sungguh kecuali mengikuti petunjuk-petunjuk yang sudah dibakukan secara ketat. Karena itu pengaruh dan fungsi kesehatan jiwa makin terasa penting.
  7. Persaingan yang tajam, keras dan kadang tidak sehat
  8. Sukses yang dicapai berbagai orang tidak selalu disebabkan karena keunggulan-keunggulan yang obyektif. Bila latar belakang itu diketahui oleh lingkungan luas, maka sukses “semu” yang dicapainya itu dapat menimbulkan stres-stres tertentu. Oleh sebab itu, mungkin suatu pendekatan yang lebih merata dan “sportif” dapat lebih mengikat hati, dihargai dan mempesona. Walaupun demikian, dalam masyakarat umum yang dijadikan “idola dan idealisme” sering mereka yang sudah berhasil menggondol hadiah utama atau posisi puncak.
  9. Diskriminasi
  10. Walaupun telah dibuka kesempatan yang sama antara pria dan wanita, kadang-kadang masih dijumpai diskriminasi dalam karier untuk tenaga kerja wanita yang tentunya dapat menghambat potensi individu tersebut.
  11. Perubahan sosial yang cepat
  12. Perubahan cepat tidak senantiasa perlu berakibat buruk, bila disertai dengan penyesuaian yang memadai di bidang etik dan moral konvensional. Bila kesejajaran ini tidak harmonis, maka pola kehidupan konvensional akan senantiasa merasa terancam dengan berbagai akibat yang tidak diharapkan. Dalam kondisi terburuk, maka nilai-nilai materialistik akan mendominasi sehingga nilai-nilai religius - moralitik - spiritualistik terpengaruh dan melemah karenanya. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya “benturan konflik”. Sebagian diungkapkan, dan untuk sebagian sekedar disimpan dalam hati untuk ditanggung dalam alam perasaan individu atau kelompok.
*
KEPRIBADIAN

Yaitu kumpulan corak kebiasaan yang digunakan seseorang untuk bereaksi terhadap rangsang baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dan corak kebiasaan ini bersifat khas pada masing-masing individu.

Corak kepribadian yang relatif mudah atau peka ialah :

  1. Orang yang bersifat hati-hati, takut gagal, takut memperoleh hinaan dan kesalahan.
  2. Seseorang workaholic, seseorang yang senang sekali bekerja (tipe A)
  3. Seseorang dengan kebutuhan untuk keberhasilan yang tinggi.
  4. Seseorang yang kaku dalam proses berpikirnya, kurang lentur (rigid)
  5. Orang yang sedang mengalami krisis tengah umur (midlife-crisis)

TANGGAPAN TUBUH TERHADAP STRES (Daya Adaptasi).


Menurut Selye, stres merujuk pada suatu reaksi yang kompleks di pihak organisme terhadap pengaruh atau dampak non-spesifik dari lingkungan (pengaruh atau dampak itu dinamakan “stresor” atau “stimulus”). Sesuai dengan berat ringannya stres dan lama-singkatnya stres berlangsung, tubuh menanggapinya dalam tiga tahap.


*
1. Tahap “reaksi peringatan atau alarm” (tanggapan terhadap bahaya).


Tanggapan ini berfungsi untuk mengerahkan sumber daya tubuh melawan stres. Pada awal tanggapan terhadap bahaya itu, untuk sesaat reaksi tubuh turun di bawah normal. Misalnya, tekanan darah, detak jantung, pernapasan berkurang. Tetapi reaksi tubuh itu segera berbalik naik. Darah mengalir lebih cepat, jantung berdetak lebih cepat, pernafasan lebih cepat, keringat banyak keluar. Hal ini terjadi misalnya waktu kita menghadapi keadaan darurat misalnya hampir terlanggar kendaraan waktu mau menyeberang jalan. Pada tahap ini, biasanya orang berjuang mengatasi stres dengan melawan (fight) atau lari (flight) dari sumber stres. Reaksi tubuh terhadap stres yang tinggi ini tak mungkin bertahan lama. Maka bila stres terlalu keras dan tak terhindarkan, serta reaksi tubuh yang intens tetap tak berkurang, organisme tubuh dapat hancur dalam beberapa saat, jam atau hari. Jika tahap ini dapat diatasi, maka menyusul :


*
2. Tahap “adaptasi atau resistensi”


Gejala-gejala semula menghilang. Terjadi penyesuaian dengan perubahan lingkungan, dan bersangkutan dengan ini terciptalah suatu peninggian “daya tahan”. Dampak stresor atas organisme berkurang atau dinetralisasi. Tubuh tidak banyak menunjukkan gejala-gejala stres, seolah-olah biasa saja. Tetapi tubuh yang sudah menahan stres itu menjadi lemah jika menghadapi stres baru, sehingga mudah terkena penyakit.


*
3. Tahap “kelelahan” (exhaustion)


Cadangan adaptasi yang tersedia dalam organisme telah terpakai habis. Sekarang timbul penyakit misalnya hipertensi, tukak lambung, encok, asthma, reaksi allergi, penyakit jantung dan disebut sebagai “penyakit adaptasi”.


*
DAMPAK STRES


Orang yang mengalami stres dapat mengalaminya hanya untuk sementara waktu saja atau dapat untuk waktu lama. Pada tahap yang terakhir stres psikologik akan menampakkan diri dalam bentuk sakit fisik dan sakit psikis. Kesehatan jiwa terganggu. Orang dapat menjadi agresif, dapat menjadi depresi, dapat menderita neurosis cemas, dapat menderita gangguan psikosomatik, dapat tidak sehat badan, yaitu menderita penyakit fisik :


- Tekanan darah tinggi

- Sakit jantung
- Sesak nafas (Asthma Bronkhial)
- Radang usus, tukak lambung atau usus.
- Sakit Kepala (Tension Headache)
- Sakit eksim kulit (Neurodermatitis)
- Konstipasi
- Arthritis
- Kanker, dll.

*
UPAYA PENCEGAHAN STRES

  1. Jaga kesehatan fisik dengan makanan bergizi, cukup istirahat dan olahraga
  2. Mempunyai kepercayaan kepada Tuhan YME, hidup dalam pengharapan dan iman serta menjalankan ajaran Firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Menerima segala peristiwa dalam kehidupan sebagai pelajaran dan dapat mengambil hikmahnya.
  4. Jika mempunyai masalah yang melibatkan emosi, cepat selesaikan dengan cara yang benar. Jangan memendam emosi dan konflik.
  5. Belajar tidak egois dan selalu mau menolong orang lain
  6. Percaya diri, tidak rendah diri dan senang dengan dirinya (dapat menerima diri apa adanya)
  7. Nikmati, hayati, syukuri tiap-tiap menit yang berlalu (here and now, masa depan adalah serial dari masa sekarang)
  8. Pupuklah benih-benih cinta (kasih sayang)
  9. Kembangkan rasa humor
  10. Carilah nilai-nilai perjuangan dalam hidup, sehingga kita dapat menghadapi kehidupan dengan ulet dan tahan bantingan.
*
UPAYA PENANGGULANGAN STRES


1. Pemberian obat (terapi medikamentosa).

  • Jika sudah menderita gangguan Jiwa, pertama-tama penderita harus diberi obat dulu sesuai dengan diagnosisnya.
  • Hal ini perlu untuk menghilangkan gejala, sehingga penderita kembali tenang dan dapat berpikir jernih, sehingga dapat diberikan psikoterapi.
2. Psikoterapi

Psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih, dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.


*
3. Latihan relaksasi


Latihan relaksasi dapat mengurangi kecemasan (anxietas), dapat menidurkan mereka yang menderita insomnia dan dapat mengurangi rasa sakit kepala yang ditimbulkan oleh stres. Latihan relaksasi dapat dilaksanakan dengan prosedur :

  1. relaksasi progresif (Jacobson)
  2. autogenic training (Schultz)
  3. biofeedback
  4. meditasi
*
Semua prosedur diatas umumnya memiliki beberapa prinsip yang sama yakni :

  1. diusahakan timbulnya pengendoran otot-otot tubuh.
  2. harus dilakukan secara teratur dan berulang kali.
  3. individu itu dianjurkan untuk memakai relaksasi ini dalam menghadapi situasi stres sehari-hari.
  4. juga diberikan pada klien suatu prosedur kognitif untuk menciptakan pikiran yang tenang, umpama : pada autogenic training, mereka harus mengulang-ulang kalimat “lengan dan kakiku sekarang berat dan hangat”.
  5. persamaan yang paling kuat dari semua model prosedur relaksasi di atas adalah atensi pasif, yakni suatu fenomena yang berlawanan dengan jawaban aktif atau perjuangan yang umum dilaksanakan dalam menghadapi stres. Umpama : autogenic training, klien diajarkan untuk melaksanakan konsentrasi pasif. Dalam bio-feedback training diajarkan untuk bertindak berlawanan dari “usaha keras”.
*
4. Upaya yang bersifat lingkungan

  1. Keluarga. Seorang isteri / suami dapat merupakan sokongan sosial yang sangat berharga bagi seorang yang sedang menderita stres. Demikian pula halnya dengan orang tua bagi anaknya dan sebaliknya.
  2. Perkumpulan senasib / seprofesi. Perkumpulan para lanjut usia, para remaja atau kawan dan sebagainya banyak pula dapat pembantu anggotanya bila ia mengalami suatu stres atau masalah.
  3. Agama. Berdoa bersama dalam agamanya telah banyak memperlihatkan khasiatnya dalam memberikan kekuatan pada seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalannya.
  4. Penulis adalah seorang psikiater sekaligus seorang Pelatih Prana.
-----------

No comments: