Wednesday, September 3, 2008

Buah Ketulusan

Oleh : Bernard Prasodjo

Hujan mulai turun dan perjalanannya masih sangat jauh. Dengan vespa butut keluaran tahun 70-an, setelah mengenakan jas hujan Jono melanjutkan perjalanan pulang yang masih lumayan jauh, dari kawasan Bekasi menuju rumahnya di Tangerang. Dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai seorang penyembuh prana, dia biasa berkeliling mengunjungi pasien-pasien yang memerlukan bantuan ke rumah masing-masing. Hari mulai gelap dan pikirannya mulai berkelana.

Setelah pergulatan batin selama berminggu-minggu, akhirnya tiga bulan yang lalu dia memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai tenaga kurir disebuah perusahaan, dan memilih untuk menjadi penyembuh prana profesional. Mulanya dia melakukan penyembuhan setiap pulang dari kantor, tetapi nampaknya kegiatan baru yang dia tekuni setelah selesai mengikuti kursus prana tingkat lanjut dan psikoterapi itu makin lama semakin banyak menyita waktunya, dan ternyata hasilnya cukup lumayan.

Dan karena itulah, dengan memberanikan diri dia meninggalkan pekerjaan yang secara pasti memberikan penghasilan tetap hampir sejuta rupiah setiap bulannya. Tapi sejauh ini ternyata keputusannya tidak salah, sekarang sebagai seorang penyembuh prana, dalam sebulan dia bisa membawa pulang uang lebih dari tiga juta rupiah, itupun masih punya cukup waktu luang untuk membantu usaha kecil-kecilan isterinya, dan menerima pasien di rumahnya, yang semakin hari semakin bertambah banyak saja.

Masalah mulai timbul, dia tidak tahan mendengar pergunjingan orang mengenai dirinya, yang mulai komersiil-lah, mata duitan-lah, dukun palsu-lah padahal orang tidak tahu kalau dalam melakukan penyembuhan dia tidak memasang tarip, semuanya secara sukarela dan hampir separuh dari pasiennya dirawatnya secara gratis, tetapi dengan tulus dan penuh kesungguhan. Dan rupanya mereka belum tahu bahwa belajar prana itu tidak sulit dan hasilnya cukup efektif untuk segera bisa menyembuhkan orang lain. Mungkin mereka berpikir bagaimana mungkin seorang kurir tiba-tiba menjadi penyembuh? Mulanya dia benar-benar ingin berhenti jadi penyembuh dan kembali mencari pekerjaan baru.

Tetapi atas dorongan isterinya yang penuh pengertian, dia tetap bertahan dan mulai bisa mengabaikan kasak-kusuk yang tanpa ujung pangkal itu. Apa salahnya menjadi seorang penyembuh profesional? Bukankah dalam kursus dikatakan bahwa tidak menjadi masalah mencari nafkah dengan melakukan penyembuhan selama tarifnya wajar dan tidak memberatkan pasien, dan tetap merawat pasien dengan tulus, dengan penuh kasih sayang dan dengan kemampuan tertinggi yang dimilikinya walaupun pasien tidak mampu membayar?

Dia sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan teknik Penyembuhan Prana ini, selain belajar teknik penyembuhan yang mudah dimengerti dan langsung dapat dipraktekkan, juga karena ajaran pembentukan watak yang demikian menyentuh hatinya: harus bertindak dengan penuh cinta kasih kepada sesama dan tidak boleh saling menyakiti, harus bermurah hati dan selalu siap sedia untuk membantu orang lain, tetapi tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan miliknya, kemudian harus selalu bertindak jujur kepada orang lain maupun diri sendiri dan tidak boleh berbohong. Dia juga begitu terkesan dengan pemaparan hukum karma, apa yang Anda tanam, itulah yang akan Anda tuai, kalau Anda menanam padi, Anda pasti akan memanen padi, kalau Anda membantu orang lain, hidup Anda tidak akan pernah susah, tetapi sebaliknya kalau Anda menyusahkan orang lain, hidup Anda jaga akan penuh dengan kesulitan. Selain itu dia juga senang melakukan Meditasi Jantung kembar seperti yang diajarkan dalam kursus prana, agar penyembuhan yang dilakukan lebih manjur, meditasi ini harus dilakukan secara teratur. Apa yang didengarnya dalam kursus itu demikian menyentuh dan begitu membekas di hatinya. Semua inilah yang menyebabkan dia bertekad bulat menjadi seorang penyembuh profesional dan yang membuatnya berubah menjadi lebih sabar, lebih toleran, penuh belarasa, suka menolong, menjadi tenteram dan lebih bahagia.

Tiba-tiba dia tersentak dari lamunannya, di kegelapan malam dia melihat ada sosok sedang melambai-lambaikan tangannya. Setelah semakin dekat ternyata sosok itu adalah seorang ibu yang basah kuyup.

Dia menghentikan motornya kemudian menyapa dengan sopan, “ada yang bisa saya bantu, bu?” Dengan takut-takut wanita setengah baya itu menjawab “ban mobil saya kempes, dari tadi sudah saya coba minta bantuan, tapi tidak ada yang mau berhenti, nanti saya bayar kalau mas bersedia mengganti ban mobil saya.” Dia tidak menanggapi, malah balik bertanya, “di mana kotak perkakasnya bu? Ibu tunggu saja di dalam mobil, hujannya semakin deras nih” kemudian dengan sigap dia bekerja, tidak sampai sepuluh menit ban serepnya sudah terpasang dan ban kempesnya sudah ditaruhnya di bagasi. Dia sudah berjalan menuju sepeda motornya ketika ibu itu berkata, “berapa ongkosnya mas?” “Oh, tidak usah, tidak merepotkan kok, apalagi dulu saya biasa melakukan hal seperti ini.” Si ibu terus memaksa, dan tetap saja ditolak, akhirnya dia menyerah dan berkali-kali mengucapkan terimakasih, “hati-hati di jalan bu.” Katanya sambil menjalankan vespanya. Dia ingin segera sampai ke rumahnya, mungkin sudah ada pasien yang menunggu di sana.

Sambil mengemudi wanita tadi berkata dalam hatinya, “ternyata di jaman seperti ini masih ada juga orang yang baik hati seperti dia.” tubuhnya menggigil kedinginan, walau AC mobil tidak dihidupkannya. Dia melihat ada warung kecil di pinggir jalan, begitu saja dia menepikan mobilnya dan berhenti di depan warung tadi. “Kenapa untuk segelas kopi panas aku harus membelinya diwarung seperti ini? Bukankah tidak jauh dari tikungan sana ada restoran?” Tapi dia memantapkan langkahnya dan tetap memasuki warung tadi.

Dia melihat berkeliling, ternyata hanya dia seorang pengunjung warung itu, lalu duduk di bawah lampu petromak dengan maksud untuk menghangatkan diri. “Kopi pahit satu.” “Mi rebusnya tidak sekalian bu? Enak lho.” wanita muda penjaga warung itu merayu. “Boleh.” jawab si ibu. Sambil berjalan beringsut-ingsut karena perutnya yang membuncit si penjaga warung yang hamil tua itu mempersiapkan pesanan ibu tadi. Tidak lama kemudian kopi panas dan mi rebus yang masih mengepul sudah terhidang di depan si ibu. Dengan hati gembira disantapnya makanan wong cilik tadi. “Berapa dik? Ada tisu?” tanyanya sambil mengangsurkan selembar uang seratus ribuan. “Duitnya gede amat bu, saya lihat dulu apa ada kembaliannya. Oh iya tisunya ada di dalam kotak hijau itu.” Si penjaga warung berjalan pelahan sambil menopang perut dengan tangannya untuk mengambil uang kembalian.

Dilain pihak dengan cepat si ibu mengambil beberapa lembar kertas tisu, menyelipkan lima lembar uang seratus ribuan, dan menaruhnya di atas meja. Tanpa menunggu uang kembalian, dia bergegas keluar menuju ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Rupanya itu sebagai ungkapan rasa syukur si ibu karena dia sudah terhindar dari kesulitan, dan baru saja menyadari kalau tempat dimana ban mobilnya kempes tadi adalah tempat yang rawan penodongan, bisa-bisa uang hasil penjualan rumah yang ada di tasnya lenyap disambar penjahat.

Malam itu di kamar tidur di sebuah rumah yang sangat sederhana, penghuninya, sepasang suami isteri muda hendak berangkat tidur. Dengan lembut si isteri berkata, Mas, mas Jono tidak perlu memikirkan kekurangan uang biaya persalinan nanti, tadi ada seorang ibu yang baik hati…………..,” dia terus bercerita, tapi Jono sudah tertidur lelap.

Memang terkadang karma berjalan dengan cepat, sesuatu yang baru saja di tabur, sudah langsung bisa di panen hasilnya. Jadi tunggu apa lagi?

———-

No comments: