Wednesday, September 24, 2008

Surat dari Tuhan


SURAT DARI TUHAN

(MP 12)

Pagi itu Asih menerima sepucuk surat yang luar biasa, dia mengamati surat itu sebelum membukanya, tetapi kemudian sekali lagi dia memandangnya bingung . Tidak tertera perangko disitu, tidak ada cap pos, di situ hanya ada nama dan alamatnya. Dengan ragu dia segera membaca surat itu.

Asih yang tercinta,
Aku akan mengunjungi tetanggamu hari Sabtu ini di sore hari dan aku bermaksud singgah kerumahmu.
Dengan penuh cinta :
Tuhan-mu

Tangannya gemetar ketika dia menaruh surat itu di atas meja. “Mengapa Tuhan ingin mengunjungiku? Aku bukan orang istimewa. Aku tidak punya apapun untuk menjamunya!” Dengan pikiran itu dibenaknya, Asih teringat pada lemari dapurnya yang kosong “Ya ampun, aku benar-benar tidak punya apapun untuk dihidangkan. Sebaiknya aku buru-buru lari ke warung untuk membeli makanan.” Dia mengambil dompetnya dan menghitung uang di dalamnya. Ada tiga puluh empat ribu rupiah di situ: “Yah, paling tidak aku dapat membeli kue dan nasi bungkus.”

Karena hari itu hujan, dia meraih jas hujannya dan bergegas keluar rumah. Membeli dua nasi bungkus. Beberapa potong ayam goreng dan sebotol besar minuman ringan. Hanya tersisa seribu dua ratus rupiah untuk hidup sampai Senin. Tetap dengan perasaan gembira dia berjalan pulang, hidangan dalam kantung plastik yang sederhana itu digantungkannya di lengan.

“Bu, tolonglah kami, bu!!” Asih begitu dikuasai oleh rencana makan malamnya yang sangat istimewa itu, dia sama sekali tidak meperhatikan dua orang tua yang tertatih-tatih berjalan di gang. Mereka adalah sepasang kakek-nenek yang berpakaian compang camping.

“Lihatlah bu, saya menganggur, dan kami berdua hidup di emperan toko, sekarang musim hujan dan kami kelaparan. Kalau ibu mau menolong kami, kami akan sangat berterima kasih!” Asih menatap mereka berdua, mereka nampak kotor, bau dan sejujurnya menurut Asih, kalau mau mereka masih mampu bekerja.

“Pak, aku sebenarnya mau membantumu. Tapi aku sendiri orang miskin. Yang aku miliki hanyalah dua bungkus nasi dan beberapa potong ayam, dan aku akan menjamu seseorang malam ini.”
“Baiklah kalau begitu, saya paham, terima kasih.” Laki-laki tua itu merangkul isterinya, berbalik dan kembali berjalan. Ketika Asih memperhatikan mereka, Asih merasakan ada sesuatu yang menusuk hatinya.

“Pak, tunggu!” Pasangan itu berhenti dan berbalik ketika Asih berlari menelusuri lorong menghampiri mereka. “Ambil saja makanan ini, aku akan memikirkan cara lain untuk menjamu tamuku nanti”. Dia menyerahkan jinjingan plastik belanjaannya.
“Terima kasih, bu! Terima kasih banyak!” Itu suara isteri laki-laki tua itu, dan Asih dapat melihat bahwa wanita itu gemetar kedinginan.

“Aku masih punya jas hujan lain di rumah, ambil saja jas hujan ini.” Asih melepaskan kancing jas hujannya dan mengenakannya di pundak perempuan tua itu, kemudian dia tersenyum dan berbalik kembali untuk berjalan pulang…, tanpa jas hujan dan tanpa apapun untuk menjamu tamunya.

“Terima kasih, bu! terima kasih banyak!”

Suara itu masih mengiang di telinganya. Ketika Asih sampai di depan rumahnya, ada perasaan khawatir di hatinya. Tuhan akan datang mengunjunginya, sedangkan dia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dihidangkan. dia mengais dompetnya untuk mencari kunci rumah. Kemudian pandangannya tertuju pada sebuah amplop yang tergeletak di bawah pintu. “Ini aneh, tak biasanya pak pos datang sampai dua kali dalam sehari”, dia mengambil amplop itu dan membukanya.

Asih yang tercinta,
Sangat senang dapat menjumpaimu lagi. Terima kasih untuk makan malam yang sangat lezat itu. Dan terimakasih juga untuk jas hujan yang bagus itu!
Dengan penuh kasih sayang,
Tuhan-mu.

Di luar masih gerimis, walaupun basah, Asih merasakan ada kehangatan dalam dirinya. Bagi Asih ini adalah hari yang tak terlupakan.

----------

No comments: